27 Desember 2007

Susui Bayi Segera Setelah Lahir

Seorang bayi mungil baru saja lahir. Setelah tali pusar dipotong, si bayi segera didekatkan ke dada ibunya, tanpa pembatas selembar kain pun. Sang ayah lalu mendekat, mengumandangkan azan ke telinga si kecil. Dokter Utami Roesli SpA MBA IBCLC, terharu menyaksikan peristiwa setahun lalu itu. Ia merasakan peristiwa tersebut sebagai pengalaman yang paling indah dalam hidupnya.

"Selama 35 tahun jadi dokter, ini pertama kali saya melihat seorang ayah mengazankan anaknya di dada ibunya. Indah sekali," kata Utami, mengisahkan saat-saat kelahiran cucu pertamanya. Dan tak hanya indah. Inisiasi menyusu dini seperti yang dilihat Utami itu juga sangat penting. "Selama ini, orang tidak menyadari bahwa ibu dan bayi sudah dapat berinteraksi pada menit-menit pertama setelah si buah hati lahir," kata dokter spesialis anak dari Rumah Sakit St Carolus ini ketika berbicara dalam seminar Inisiasi Menyusu Dini di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Utami, interaksi antara ibu dan jabang bayi yang baru lahir akan terjadi bila bayi segera diletakkan di perut atau dada ibu dengan kulit ibu melekat di kulit bayi. Tahukah Anda, meski baru saja dilahirkan, si jabang bayi dapat merangkak ke arah payudara dan menyusu sendiri. Sungguh menakjubkan. Bahkan, yang juga tidak banyak disadari, suhu kulit ibu akan menyesuaikan dengan suhu yang dibutuhkan bayi.

Mengutip penelitian Dr Lennart Righard (pakar sekaligus peneliti dari Department of Pedriatics, University of Land, Malmo General Hospital Swedia), Utami mengatakan, pada dasarnya bayi sudah bisa menyusu sendiri segera setelah lahir. Sebaliknya, pemisahan ibu dan bayi dalam jangka waktu tertentu setelah kelahiran bisa berakibat bayi tidak dapat menyusu.

Mengambil sampel 72 ibu dan bayi baru lahir, Lennart membagi mereka ke dalam dua kelompok, masing-masing kelompok bayi lahir normal, dan kelompok bayi yang lahir dengan bantuan obat-obatan atau tindakan. Bayi lahir normal pun dibagi dua. Sebagian diletakkan di perut ibu setelah lahir dan tidak dipisahkan selama setidaknya satu jam, sebagian lainnya dipisahkan dari ibu untuk ditimbang dan dimandikan. Hasilnya, dalam 20 menit, bayi yang diletakkan di perut ibunya mulai merangkak ke arah payudara dan menyusu dalam 50 menit. Sebaliknya, bayi lahir normal yang dipisahkan, 50 persen tidak dapat menyusu sendiri.

Bayi lahir dengan obat-obatan atau tindakan lebih parah lagi. Meski tak dipisahkan dari sang ibu setelah lahir, tak semua dari mereka (bayi-bayi yang lahir dengan bantuan obat atau tindakan) dapat menyusu. Apalagi yang dipisahkan dari ibunya, 100 persen tidak dapat menyusu. 'Karena itu, menunda permulaan menyusu lebih dari satu jam akan menyebabkan kesukaran menyusui," kata Utami.

Tingkatkan risiko kematian bayi
Tak hanya menyebabkan kesulitan menyusu, menunda permulaan menyusu juga meningkatkan risiko kematian bayi. Penelitian Edmond K dan para koleganya dari Department for International Development, Inggris, menunjukkan hal itu.

Menggelar riset di Ghana terhadap 10.947 bayi lahir dan disusui, Edmond menemukan, bayi yang mulai menyusu dalam satu jam pertama, sebanyak 22 persen dapat diselamatkan dari kematian. Sementara bayi yang mulai menyusu pada hari pertama, sebanyak 16 persen dapat diselamatkan dari kematian. Makin lama permulaan menyusu ditunda, makin meningkat pula risiko kematian si bayi.

Utami mengakui, semula ia pun tidak menyadari pentingnya inisiasi menyusu dini. Sebagaimana dipahami banyak orang, maka setelah dilahirkan, bayi lebih dulu dibersihkan lalu diselimuti. "Jujur, saya juga begitu dulu," ucapnya. "Yang benar, begitu lahir, tali pusar dipotong lalu lekatkan bayi ke dada ibu. Jangan dibedong. Kalau dia dingin, suhu tubuh ibu akan naik," ujar pakar ASI (Air Susu Ibu) dari Sentra Laktasi Indonesia ini.

Menurut Utami, kontak kulit dengan kulit menjadi penting karena dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat. Kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hipothermia. Ibu dan bayi pun merasa lebih tenang, pernapasan dan detak jantung bayi menjadi lebih stabil, bayi pun tidak sering menangis sehingga mengurangi pemakaian energi.

Selain itu, saat merangkak mencari payudara, bayi menjilat-jilat kulit ibu. Saat itu, bayi menelan bakteri baik yang ada di kulit ibu. Bakteri baik ini membuat koloni di usus dan kulit bayi untuk menekan bakteri jahat. Lebih penting lagi, bayi akan mendapatkan ASI kolostrum, cairan 'emas' yang kaya akan antibodi dan zat penting lain yang baik untuk pertumbuhan usus dan daya tahan terhadap infeksi.

Tidak hanya itu. Menurut Utami, sentuhan, emutan, dan jilatan bayi pada puting ibu akan merangsang keluarnya oksitosin yang penting untuk beberapa hal, antara lain: menyebabkan rahim berkontraksi untuk membantu pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan ibu, merangsang hormon-hormon lain yang membuat ibu menjadi tenang, rileks, dan mencintai bayi. Oksitosin juga bermanfaat untuk meningkatkan ambang nyeri dan merangsang aliran ASI dari payudara.

Dari semua itu, ada hal lain yang dapat dirasakan amat berarti dalam kehidupan rumah tangga. Seperti dituturkan Utami, ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia melihat bayinya untuk pertama kali dalam keadaan seperti itu. Ayah dapat mengumandangkan azan untuk anaknya yang berada di dada sang ibu. "Ini mungkin menjadi langkah awal dari keluarga sakinah." bur

Dari : www.aguss.sayanginanda.com

11 Desember 2007

Bayi Bisa Bedakan Baik & Buruk

JANGAN sekali-kali berlagak seperti penjahat di hadapan bayi. Bayi, yang oleh sebagian besar orang dewasa dianggap belum mengerti apa-apa, ternyata memiliki kemampuan membedakan mana yang baik dan buruk.

Penelitian yang dilakukan para ilmuwan Universitas Yale, AS mengungkapkan, bayi berusia enam hingga sepuluh bulan ternyata sudah bisa membedakan orang berkarakter baik dan buruk. Dalam penelitian tersebut, ketika diminta memilih, bayi lebih suka bermain dengan karakter protagonis daripada karakter antagonis.

Bayi bisa melakukannya tanpa perlu diajari karena bayi memiliki keterampilan untuk bertahan hidup (survival skill). "Kami sangat terkejut menemukan bahwa bayi memiliki survival skill ini. Bayi tidak perlu diajari karena keterampilan ini merupakan buah dari evolusi," tutur ketua tim peneliti Kiley Hamlin, ahli psikologi Yale University.

Dalam penelitiannya, Hamlin beserta tim menunjukkan boneka-boneka kayu bermata besar kepada sejumlah bayi. Ketika dilihat sepintas, boneka-boneka tersebut seluruhnya menyiratkan kesan sebagai tokoh jahat karena semuanya bermata buas. Selanjutnya, Hamlin menggelar pertunjukan mirip pementasan wayang golek (cerita boneka) di depan para bayi. Bayi-bayi tersebut duduk dipangku orang tua masing-masing. Namun, orang tua tidak boleh melakukan interferensi. Artinya, orang tua tidak boleh mengatakan apa pun kepada bayi selama pertunjukan berlangsung.

Dalam pertunjukan, boneka-boneka tersebut berjuang memanjat sebuah tebing. Boneka-boneka itu memainkan tiga peran berbeda dalam pertunjukannya. Sebuah boneka berperan sebagai karakter netral yang berjuang sendiri untuk memanjat tebing. Boneka yang lain berperan sebagai tokoh protagonis yang membantu temannya memanjat. Adapun boneka yang lain berperan sebagai karakter antagonis yang selalu menghalangi boneka lain memanjat tebing.

Setelah pertunjukan usai, seluruh boneka yang terlibat pertunjukan disodorkan kepada bayi untuk dipilih sebagai teman bermain. Hasilnya, sebanyak 80 persen dari bayi-bayi tersebut ternyata memilih boneka yang memerankan tokoh protagonis dan menghindari boneka-boneka yang memerankan tokoh antagonis. Dalam penilaian Hamlin, reaksi bayi-bayi tersebut membuktikan bahwa bayi bisa menilai baik atau buruk seseorang berdasarkan perilaku orang tersebut terhadap orang lain.

Untuk menegaskan kesahihan hasil penelitian pertama, Hamlin melanjutkan dengan penelitian kedua. Dalam pertunjukan babak kedua, boneka-boneka kayu yang digunakan pada pertunjukan pertama dipertemukan kembali. Boneka-boneka tersebut saling bersalaman. Bayi-bayi menunjukkan keterkejutan ketika melihat satu boneka protagonis mendekati boneka antagonis. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa bayi sesungguhnya mengetahui bahwa karakter-karakter antagonis harus dihindari.

Hamlin rupanya belum puas dengan hasil kedua penelitian tersebut. Karena itu, Hamlin melanjutkan dengan penelitian tahap ketiga. Pada penelitian tahap akhir ini, bayi-bayi diminta memilih antara boneka protagonis dan boneka netral. Hasilnya, tetap saja para bayi tersebut memilih boneka protagonis sebagai teman bermain.Tidak ada perbedaan reaksi pada bayi laki-laki atau perempuan.

"Bayi-bayi tersebut terbukti lebih menyukai karakter protagonis daripada antagonis dan mereka tetap memilih karakter protagonis daripada karakter netral. Ini merupakan bukti bahwa bayi yang belum bisa bicara ternyata bisa menilai orang lain berdasarkan perilaku orang itu terhadap sesama," jelas Hamlin.

Karena itu, orang tua harus lebih berhati-hati menjaga perilaku di depan anak. Para ilmuwan memperingatkan, pengalaman-pengalaman yang dirasakan anak sejak bayi berperan besar dalam pembentukan karakter anak hingga dewasa. Penelitian para ilmuwan Yale University tersebut bukan penelitian pertama terhadap keterampilan sosial yang dimiliki bayi. (ap/yc)**

http://aguss.sayanginanda.com